KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak
lupa kami ucapkan kepada guru pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan
dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
teman-teman.
Jambi, 28 oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. 1
DAFTAR ISI........................................................................................ 2
I.
PENDAHULUAN...................................................................... 3
1.1
Latar belakang 3
1.2
Rumusan
masalah 4
1.3
Tujuan
masalah 4
1.4
Metode
penulisan 4
II.
PEMBAHASAN ........................................................................ 5
2.1 Peristiwa-peristiwa
besar angkatan 70-an ......................... 5
2.2 Sastrawan angkatan
70-an ............................................... 10
2.3 Jenis-jenis karya sastra angkatan 70-an ............................. 12
2.4 Karya-karya sastra angkatan 70-an.................................... 15
2.4 Karya-karya sastra angkatan 70-an.................................... 15
III.
PENUTUP ............................................................................... 21
3.1 Kesimpulan ....................................................................... 21
3.2 Saran ............................................................................... 21
3.2 Saran ............................................................................... 21
IV.
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Munculnya
periode 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam
menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik
di bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah
gagalnya kudeta G 30 S/PKI. Abdul Hadi W.M. dan damai Toda menamai sastra
Indonesia modern pada tahun 1970-an dengan sastra periode 70-an. Korrie Layuan
Rampan cenderung menamai Sastra Indonesia sesudah angkatan ‘45 dengan nama
angkatan ‘80. Perbedaan esensial antara kedua versi tersebut hanyalah pemberian
nama saja, karena keduanya memiliki persamaan, yaitu:
1.
Keduanya tidak mengakui adanya angkatan ‘66 yang dicetuskan oleh HB. Jassin.
2.
Keduanya meyakini adanya pergeseran wawasan estetik sesudah angkatan ’45.
3.
Keduanya memiliki persamaan pandangan tentang tokoh-tokoh pembaruan Sastra
Indonesia Modern sesudah angkatan ’45.
Dalam
periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas
beberapa kemungkinan bentuk, baik prosa, puisi, maupun drama semakin tidak
jelas. Misalnya, prosa dalam bentuk cerpen, pengarang sudah berani membuat
cerpen dengan panjang 1-2 kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak.
Dalam bidang drama mereka mulia menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd
atau tidak masuk akal. Sedangkan dalam bidang puisi mulai ada puisi kontemporer
atau puisi selindro.
Periode
70-an telah memperlihatkan pembaharuan dalam berbagai bidang, antara lain;
wawasan estetik, pandangan, sikap hidup, dan orientasi budaya. Para sastrawan
tidak mengabaikan sesuatu yang bersifat tradisional bahkan berusahan untuk
menjadikannya sebagai titik tolak dalam menghsilkan karya sastra modern.
Konsepsi
improvisasi dalam karya sastra dipahami oleh Putu Wijaya. Ia mengatakan bahwa
sebuah nobel hanyalah cerita pendek yang disambung, sehingga yang penting
muncul di dalam penulisan suatu karya sastra adalah faktor ketiba-tibaan.
Sebuah novel, drama, atau cerita pendek ditulis didalam dadakan-dadakan karena
pada saat menulis beragai ide yang datang dimasukkan ke dalam ide pokok. Unsur
tiba-tiba seperti ini yang disebut dengan uncur improvisasi.
Perkembangan
sastra Indonesia periode 70-an maju pesat, karen banyak penerbitan yang muncul
dan bebas menampilkan hasil karyanya dalam berbagai bentuk. Sutardji
menampilkan corak baru dalam kesussastraan Indonesia di bidang puisi. Alasan
tersebut menyebaban Sutardji dianggap salah satu tokoh periode 70-an dalam
sastra Indonesia. Pada tahun 1979 Sutardji menerima hadiah sastra dari ASEAN.
Sutardji
Calzoum Bachri dalam puisinya cenderung membebaskan kata dalam membangkitkan
kembali wawasan estetik mantra, yakni wawasan estetik yang sangat menekankan
pada magic kata-kata, serta melahirkannya dalam wujud improvisasi. Hal itu
nyata bila diperhatikan sikap puisinya berjudul Kredo Puisi yang ditulis di
Bandung tanggal 30 Maret 1973 dan dimuat di majalah Horison bulan Desember
1974.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa Peristiwa-peristiwa besar angkatan 70-an?
- siapa Sastrawan angkatan 70-an?
- Apa saja Jenis-jenis karya sastra angkatan 70-an?
1.3 Tujuan Masalah
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mendeskripsikan peristiwa-peristiwa
besar angkatan 70-an
2.
Mendeskripsikan sastrawan
angkatan 70-an
3.
Mendeskripsikan jenis-jenis
karya sastra angkatan 70-an
1.4 Metode Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu, dengan
mengkaji berbagai sumber tertulis diantaranya; buku, dan sumber-sumber dari
internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 peristiwa-peristiwa besar angkatan 70-an
Pada periode ini tercatat beberapa peristiwa penting, antara lain seperti
berikut ini.
1.
Pada tahun 1970, H. B. Jassin diadili. Majalah yang dipimpinnya dituduh memuat
cerita pendek yang menghina agama Islam.
2.
tahun 1973, Sutarji Calzoum Bachri mengumumkan kredo puisinya. Masih pada tahun
ini muncul istilah “aliran’ Rawamangun dan M. S. Hutagalung.
3.
Pada bulan September tahun 1974 diselenggarakan “pengadilan” di Bandung. Masil
pada bulan Septemer diselenggarakan “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” yang
dilangsungkan di Jakarta.
4.
Pada tahun 1975 diselenggarakan Diskusi Besar Cerita Pendek Indonesia yang
diadakan di Bandung.
5.
Tahun 1977 mncul istilah angkatan 70, dilontarkan oleh Dami N. Toda.
6.
Tahun 1980 novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer
dilarang oleh pemerintah. Demikian pula untuk novel-novel lainnya (1985, 1987,
1988).
7.
Pada bulan Agustus tahun 1982 diadakan seminar Peranan Sastra dalam Perubahan
Masyarakat yang diselenggarakan di Jakarta.
8.
Pada tahun 1984 muncul masalah “sastra kontekstual”, serta jadi topic diskusi.
Di
bawah ini dibaicarakan sepintas lalu tentang beberapa peristiwa di atas.
1.
Pengadilan atas cerpen “Langit Makin Mendung”
Majalah sastra yang dipimpin oleh H. B. Jassin pada salah satu nomor
penerbitnya (1968) memuat sebuah cerita pendek (bersambung) karya
Kipanjikusimin (nama samaran). Edisi itu dilarang eredar dan disita oleh
Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara di Medan. Isi cerita itu dituduh menghina Nabi
Muhammad serta agama Islam. Maka timbul heboh, reaksi muncul dari berbagai
pihak. Kipanjikusimin menyatakan mencabut cerita pendek itu (Oktober 1968),
sementara H. B. Jassin diadili (1969,1970) oleh Pengadilan Negeri di Jakarta.
Ia dijatuhi hukuman percobaan.
2.
Kredo Puisi Sutarji Calzoum Bachri
Kredo puisi itu merupakan konsep dari Sutarji Calzoum Bachri. Dimuat pertama
kali dalam majalah Horison (Desember 1974). Isi selengkapnya adalah sebagai
berikut.
Kata-kata bukanlah alat pengantar pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang
menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau
diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk
duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan
alat untuk memotong atau menikam.
Dalam
kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan
pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan
dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Dalam
puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu mereka
seperti Kamus dan penjajahan-penjajahan seperti moral kita yang dibebankan
masyarakat pada kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta
penjajahan gramatika.
Bila
kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa
menciptakan dirinya. Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata biasanya
dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba karena kebebasannya
bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal tak terduga
sebelumnya yang kreatif.
Dalam
(penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Karena gairahnya telah
menemukan kebebasan, kata meloncat-loncat dan menari-nari diatas kertas, mabuk
dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas,
menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik
atau menyungsang sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu
sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh
dirinya bisa menolah dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan
kepadanya.
Sebagai
penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar
kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapatkan
aksentuasi yang maksimal.
Menulis
puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata
pada awal mulanya. Pada umumnya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera.
Maka menulis bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantera 30 Maret 1973
Itulak
Kredo Puisi Sutarji. Pada akhirnya ia mengatakan “Kredo saya jangan dianggapi
bahwa saya menerapkan secara mutlak.” (Tirtawijaya 1983:51)
3. Aliran Rawamangun
Sebutan Aliran Rawamangun pertama kali diperkenalkan oleh M. S. Hutagalung
dalam karyanya di Harian Kompas (1973) yang berjudul “Kritik Sastra Aliran
Rawamangun”. Menurut Hutagalung, aliran ini “adalah prinsip yang pada dasarnya
dianut oleh kami berempat, yakni: M. Saleh Saad, Lukman Ali, S. Effendi, dan
saya, itupun bila saya dapat menangkap dengan baik diskusi-diskusi yang sering
diadakan”.
Selanjutnya Hutagalung menulis, “Pusat perhatian penelitian sastra adalah karya
sastra itu sendiri. Pengarang, latar belakang sosial, dan sebagainya juga
penting untuk memahami sastra, tetapi janganlah sekali-kali menggeser tempat
karya itu sendiri. Dalam istilah asing anggapan yang demikian disebut
egosentris. Dengan perkataan yang menentang, aliran ini boleh disebut aliran
strukturalisme.
Para penyusun aliran ini tanpa disadari punya prinsip yang bersamaan dengan
aliran strukturalisme dalam bidang-bidang lingusitik, folklore, dan lain-lain.
Jadi sebenarnya kurang tepat bila orang menyebut kritik mereka kritik analisis
atau kritik akademis, sebab kritik aliran ini hanyalah semacam alat untuk
memahami lebih jau struktur cipta sastra itu.
Struktur adalah organisasi menyeluruh dari cipta sastra itu yang bahu-membahu
memangun imaji yang dapat menimbulkan kesan para penikmat sastra. Sejak semula
pendukung aliran ini yakin bahwa keseluruhanlah yang paling penting, tetapi di
samping itu juga eranggapan bahwa keseluruhan itu dibangun oleh unsure-unsur
yang saling membantu dengan eratnya. Jika pada dasarnya kita harus melihat
unsure tersebut fungsional dalam tugasnya membangun keseluruhan.
Itulah tentang Aliran Rawamangun. Istilah Aliran Rawamangun ini merupakan salah
satu aliran dalam kritik sastra Indonesia.
4.
Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir
Pengadilan puisi merupakan acara kegiatan sastra yang diadakan di Bandung pada
tanggal 8 September 1974. Acara ini berlangsung seperti bermain peran. Puisi
Indonesia Muktahir didili sebagai “terdakwa”. Hakim ketua Sanento Yuliman,
Hakim anggota Darmanto Jt., Slamt Kirnanto, pembela Taufik Ismail, dan saksi
adalah sejumlah pengarang Indonesia.
Puisi Muktahir Indonesia diadili karena dianggap telah melakukan berbagai
pelanggaran, antara lain bersikap anti inovasi serta pemandulan nilai.
Berdasarkan sinyalemen di atas, jaksa mengajukan tuntutan kepada terdakwa Puisi
Indonesia Mutakhir sebagai berikut.
a)
agar para kritisi
sastra Indonesia segera dipensiunkan dari jabatan mereka sebagai kritikus;
b)
agar para editor
majalah sastra dipensiunkan;
c)
penyair-penyair mapan
harus berhenti menulis;
d)
penyair-penyair epigon
harus dikarantinakan karena dianggap membahayakan bagi perkembangan puisi;
e)
agar Majalah Horizon
dan Budaya jaya dicabut surat izin ternitnya;
f)
kepada masyarakat,
dilarang membaca Majalah Horizon.
Itulah tuntutan jaksa terhadap terdakwa. Selanjutnya dihadapan saksi-saksi,
antara lain: Sutarji Calzoum Bachri, Saini K. M., Rustandi Karyakusumah. Saksi
Saini K. M., menyatakan antara lain bahwa pengadilan ini tidak sah, karena
puisi Indonesia masih dibawah umur.
Setehah saksi mengemukakan kesaksiannya, maka tampillah pembela, Taufik Ismail.
Ia menyatakan pembelaan sebagai berikut.
a) Menolak
tuntutan pertama (mempensiunkan kritikus) dengan alasan karena mereka ini
tidak diangkat oleh suatu lemaga pemerintah. Tuntutan ini lemah karena itu tak
dapat diterima.
b) Tututan
yang menyatakan bahwa editor harus diberhentikan juga ditolak karena kurang
beralasan dan lemah.
c) Tuntutan
agar penyair mapan dilarang menulis, tidak masuk akal dan mengekang hak-hak asasi
manusia. Tuntutan itupun lemah.
d) Tentang
epigon-epigon yang dilarang menulis, juga tidak dapat dibenarkan sebab mereka
ini pada suatu masa menemukan diri sendiri. Tuntutan ini kurang kuat.
e) Tuntutan
mengenai penyair reinkarnasi agar diasingkan atau dilarang menulis, juga
melawan biologi manusia. Padahal mereka adalah pelangi-pelangi puisi Indonesia.
Tuntutan itu tidak bisa diterima.
f) Agar
Majalah Horizon dan Budaya Jaya dicabut surat izin terbitnya, juga tidak dapat
diterima.
g) Melarang
masyarakat untuk membaca Majalah Horizon juga tidak dapat dibenarkan.
Demikian
isi singkat pembelaan Taufik Ismail terhadap terdakwa Puisi Indonesia Mutakhir.
Akhirnya hakim Sanento Yuliman dan Darmanto Yt. Memutuskan ketujuh butir
tuntutan dinyatakan ditolak, dan:
·
untuk
para kritikus boleh kembali mengkritik kembali sebab sebentar lagi akan
diadakan sekolah pendidikan kritikus;
·
untuk
para editor majalah sastra terus melanjutkan pekerjaannya;
·
untuk
para penyair epigon dan mapan terus menulis;
·
untuk
majalah sastra Horizon tetap terbit, tetapi berubah nama menjadi Horizon Baru.
Atas keputusan hakim di atas, jaksa penuntut merasa tidak puas dan menyatakan
naik banding pada pengadilan puisi yang akan datang.
Begitulah pengadilan puisi itu berlangsung. Setelah peristiwa ini, di Jakarta
diadakan acaa jawaban atas pengadilan puisi, yaitu tanggal 21 September 1974,
di Fakultas Sastra UI. Pembicara di dalam acara ini antara lain H. B, Jassin,
M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Darmo.
5.
Angkatan 70
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya
“Peta-Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa” yang diajukan dalam
diskusi sastra memperingati ulang tahun ke-5 Majalah Tifa Sastra di Fakultas
Sastra UI (25 Mei 1977). Kertas kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya
Jaya (September 1977) dan dalam Satyagraha Hoerip (ed) Semua Masalah Sastra
(1982).
Menurut Dami, angkatan 70 dimulai dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang
jelas punya wawasan estetika novel tersendiri; lalu teaternya Rendra serta
puisinya “Khotbah” dan “Nyayian Angsa”, juga semakin nyata dalam wawasan
estetika perpuisian Sutarji Calzoum Bachri, dan cerpen-cerpen dari Danarto,
seperti “Godlob”, “Rintik”, dan sebagainya.
Pengarang yang dapat dikelompokan ke dalam akangkatan 70 adalah: Iwan
Simatupang, W. S. Rendra, Sutarji Calzoum Bachri, Danarto, Budi Darma, Putu
Wijaya, Arifin C. Noer, dan lain-lain. Pengarang yang disebut sebagai Angkatan
70 ini ada yang sudah tergolongkan juga pada masa-masa sebelumnya. Hal inilah
yang menandakan bahwa karya mereka terus berkembang.
6.
Sastra Kontekstual
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Ariel Heryanto pada Saresehan
Kesenian di Solo, 28-29 Oktober 1984. Menurut Ariel, sastra kontekstual
adalah sejenis pemahaman atas seluk-beluk kesusastraan dengan meninjau
kaitannya dengan konteks sosial-historis kesusastraan yang bersangkutan. Bukan
sejenis karya sastra.
2.2 sastrawan
angkatan 70-an
1. Putu
Wijaya
Putu Wijaya merupakan penulis yang memiliki keterampilan lengkap. Selain ia
mampu menulis dengan baik di bidang prosa, ia juga mampu menulis dengan baik di
bidang lainnya. Ia lahir di Tabanan Bali, tanggal 11 April 1944. menyelesaikan
pendidikan di Fakultas Hukum UGM pada tahun 1969. Pernah menjadi anggota
Bengkel Teater pada tahun 1967, Teater Kecil pada tahun 1967, kemudian
mendirikan dan memimpin Teater Mandiri di Jakarta. Ia juga pernah tinggal
dengan masyarakat komunal di Ittoen, Jepang pada tahun 1973. Pernah mengikuti
International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat
(1974-1975), mengikuti Festival Teater sedunia di Nancy, Prancis (1975), dan
Festival Horisonte III di Berlin Barat pada tahun 1985.
Ia
juga pernah menjadi redaktur Majalah Tempo (1971-1979), redaktur pelaksanaan
zaman (1979-1985), dan menjadi dosen tamu pada Universitas Wisconsin, Amerika
Serikat (1985-1986). Novel, drama, dan cerpennya berkali-kali memenangkan
hadiah sayembara mengarang. Novelnya Telegram (1972) dianggap menampilkan corak
baru dalam penulisan novel Indonesia tahun 70-an..
2.
Sutardji Calzoum Bachri
Suterji Calzoum Bachri lahir pada tanggal 24 Juni 1941 di Rengat, Riau.
Pendidikan akhirnya adalah Jurusan Administrasi Niaga, Fakultas Sosial dan
Politik Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah mengikuti Program di
Universitas Iowa (1974-1975). Pada tahun 1975 ia mengikuti festival Penyiar
Internasional di Rotterdam. Sejak September 1979, ia menjadi redaktur Majalah
Horison.
Pada tahun 1978 Sutarji mendapat hadiah puisi dari Dewan Kesenian Jakarta pada
tahun 1976-1977, untuk kumpulan puisinya Amuk (1977; tahun 1979 memperoleh
hadiah sastra ASEAN. Buku-buku puisinya ialah: O” (1973), Amuk (1977), Kapak
(1979). Kumpulan-kumpulan puisi ini pada tahun 1981 diterbitkan dalam satu buku
berjudul O Amuk Kapa.
Karya puisi Sutarji telah diterjemahkan ke da dalam bahasa Inggris oleh Harry
Aveling dan dikumpulkan dalam antologi Arjuna in Mediation (Calcutta India),
Wtiting from the World ( Amerika Serikat), Westerly Review (Australia).
Karyanya juga dimuat dua antologi berbahasa Belanda .
3. Arifin C.
Noer
4.
Darmanto Jatman
5. Linus
Suryadi
6.
Danarto
Danarto lahir pada tanggal 27 Juni 1940 di Mojowetan, Sragen Jawa Tengah. Ia
adalah dosen di Institut Kesenian Jakarta sejak 1973. Lulusan ASRI Yogya tahun
1961 ini pernah aktif di Sanggar Bambu, Jakarta. Ia juga pernah menjadu
redaktur Majalah Zaman (1979-1985). Tahun 1975 ia mengikuti International
Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat, dan pada tahun
1983 ia menghadiri Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda.
Cerpennya “Rintik”, memenangkan hadiah Horison tahun 1968. Cerpen-cerpennya,
termasuk “Rintik”, dihimpun dalam kumpulan cerpen berjudul Godlob (1976).
Kumpulan cerpennya Adam Ma’rifat (1982), meraih hadiah sastra DKJ 1982 dan
Kebudayaan (1982). Kumpulan cerpennya yang lain, Berhala (1987), memenangkan
hadiah Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayan tahun 1987.
7. Iwan
Simatupang
Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara pada tanggal 18 November 1928,
meninggal di Jakarta tanggal 4 gustus 1970. Berpendidikan HBS Medan, Fakultas
Kedokteran di Surabaya (1953: tidak tamat), dan tahun 1954-1958 memperdalam
pengetahuan di Eropa (Antropologi di Universitas Leiden, drama di Amsterdam,
dan Filasfat di Universitas Sarbone Paris). Pernah menjadi komandan Pasukan
TRIP di Sumatera Utara tahun 1949, guru SMA Jalan Wijayakusuma di
Surabaya (1950-1953), reaktur Siasat (1954), dan terakhir menjadi redaktur
Warta Harian (1966-1970).
8. Budi
Darma
Budi Darma lahir tanggal 25 April 1937 di Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah dosen
IKIP Surabaya. Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Barat. Fakultas
Sastra Universitas Gajah Mada (1963). Pernah memperdalam pengetahuan di
Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat tahun 1970-1971, kemudian meraih master
dari Universitas Indiana, Bloomington, Amerika Serikat tahun 1976, dan meaih
gelar Ph. D., dari universitas yang sama tahun 1980. Pernah menjadi Dekan
Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Suraaya (beberapa kali), anggota Dewan
Kesenian Surabaya, dan Rektor IKIP Surabaya tahun 1984-1988.
Novel Olenka (1983), memenangkan hadiah pertama Sayembara Mengarang Roman DKJ
tahun 1983. karyanya yang lain: Oramg-Orang Bloomington (1980), Soliloku
(1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), dan Rafilus (1988). Tahun 1984 ia
memenangkan hadia sastra ASEAN.
9. Taufik
Ismail
10. Arsendo
Atmowiloto
11. Y.B Mangunwijaya
Karyanya antara lain Burung-Burung Mayar. Ia mencoba mengajak kita melihat
secara jernih revolusi di Indonesia.
12. Abdul Hadi WM
13. Emha Ainun Najib
Lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Memperoleh pendidikan di
Pondok Pesantren Gontor, SMA Yogya, dan Fakultas Ekonomi UGM (hanya sebentar).
Pernah menyadi redaktur Harian Masa Kini, Yogya (1973-1976), kemudian memimpin
Teater Diansti, Yogya. Pernah mengikiuti loka karya teater Peta, Filifina
(1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika
Serikat (1981). Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984),
dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985).
14. Korrie Layun
Rampan
15. Umar Kayam
Karya-karyanya seperti: Bauk, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Musim Gugur
Kembali di Connecticut, Mangan Ora Mangan Ngumpul, dan masih banyak yang lain.
16. Kuntowijoyo
Karyanya antara lain di Atas Bukit. Novel ini bertemkan kegelisahan batin
akibat batin kondisi sosial. Ia mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan
ini. Kuntowijoyo banyak mengguanakan kata-kata mutiara sebagai pengungkap
renungan hidup.
17. Remy Sylado
2.3
jenis-jenis karya sastra angkatan 70-an
1.
Puisi
Struktur
Fisik
a) Puisi
begaya bahasa mantera menggunakan sarana kepuitisan berupa ulangan kata, frasa,
atau kalimat. Gaya bahasa paralelisme dikombinasikan dengan gaya hiperbola
untuk memperoleh efek yang sebesar-besarnya, serta menonjolkan tipografi.
b)
Puisi konkret sebagai eksperimen.
c) Banyak
menggunakan kata-kata daerah untuk memberikan kesan ekspresif.
d)
Banyak
menggunakan permainan bunyi.
e) Gaya
penulian yang prosaik.
f)
Menggunakan kata yang
sebelumnya tabu.
Struktur
Tematik
a) protes
terhadap kepincangan masyarakat pada awal industrialisasi;
b) kesadaran
bahwa aspek manusia merupakan subjek dan bukan objek pembangunan;
c) banyak
mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistis.
d) cerita
dan pelukisnya bersifat alegoris atau parable;
e) perjuangan
hak-hak azasi manusia; kebebasan, persamaan, pemerataan, dan terhindar dari
pencemaran teknologi modern;
f) kritik
sosial terhadap si kuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang
lemah, dan kritik tentang penyelewengan.
2.
Prosa dan Drama
Struktur
Fisik
a) melepaskan
ciri konvensional, menggunakan pola sastra “asurd” dalam tema, alur, tokoh,
maupun latar;
b) menampakkan
ciri latar kedaerahan“warna lokal”.
Struktur
Tematik
a) sosial:
politik, kemiskinan, dan lain-lain;
b) kejiwaan;
c) metafisik.
Contoh
puisi angkatan 70
Pot
Pot apa itu pot kaukah pot aku
Pot pot pot
Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
Potapa potitu potkaukah potaku
POT
Pot apa itu pot kaukah pot aku
Pot pot pot
Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
Potapa potitu potkaukah potaku
POT
Sepisa upi
Sepisau luka
sepisau duri
Sepikul dosa
sepukau sepi
Sepisau duka
serisau diri
sepisau sepi
sepisau nyanyi
sepisaupa
sepisaupi
sepisapanya
sepikau sepi
sepisaupa
sepikau sepi
sepisaupa
sepisaupi
sepikul diri
keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa
sepisaupi
sepisaupa
sepisaupi
sampai pisaunya
ke dalam nyanyi
2.4 karya-karya sastra angkatan 70-an
1.
Putu Wijaya
a)
Orang-orang Mandiri
(drama);
b)
Lautan Bernyanyi
(drama);
c)
Telegram (novel);
d)
Aduh (drama);
e)
Pabrik (novel);
f)
Stasiun (novel);
g)
Hah (novel);
h)
Keok (novel);
i)
Anu (drama);
j)
MS (novel);
k)
Sobat (novel);
l)
Tak Cukup Sedih
(novel);
m)
Dadaku adalah perisaiku
(kumupulan sajak);
n)
Ratu (novel);
o)
Edan (novel);
p)
Bom (kumpulan cerpen).
2.
Iwan Simatupang
a)
Merahnya Merah (roman);
b)
Kering (roman);
c)
Ziarah (roman);
d)
Kooong (roman);
3.
Danarto
a)
Godolb (kumpulan
cerpen);
b)
Obrok owok-owok, Ebrek
ewek-ewek (drama);
c)
Adam ma’rifat (kumpulan
cerpen);
d)
Berhala;
e)
Orang Jawa Naik Haji (1984);
f)
Bel Geduwel Beh (1976).
4.
Budi Darma
a)
Solilokui (kumpulan essai);
b)
Olenka (novel);
c)
Orang-orang Bloomington (kumpulan cerpen);
5.
Sutardji Calzoum Bachri
a)
O (kumpulan sajak);
b)
Amuk ( kumpulan sajak);
c)
Kapak (kumpulan sajak).
6.
Arifin C. Noer
a)
Kapai-kapai (drama);
b)
Kasir Kita (drama satu babak);
c)
Orkes Madun (drama);
d)
Selamat Pagi, Jajang (kumpulan sajak);
e)
Sumur tanpa dasar (drama);
f)
Tengul (drama).
7.
Darmanto Jatman
a)
Sajak-sajak Putih (kumpulan sajak);
b)
Dalam Kejaran Waktu (novel);
c)
Bangsat (kumpulan sajak);
d)
Sang Darmanto (kumpulan sajak);
e)
Ki Balaka Suta (kumpulan sajak).
8.
Linus Suryadi
a)
Langit Kelabu (kumpulan sajak);
b)
Pengakuan Pariyem (novel);
c)
Syair-syair dari Jogja (kumpulan sajak);
d)
Perang Troya (cerita anak);
e)
Dari Desa ke Kota (kumpulan essai);
f)
Perkutut Manggung (kumpulan sajak);
g)
Gerhana Bulan (kumpulan sajak).
9.
Taufik Ismail
a)
Puisi-puisi Sepi (kumpulan sajak);
b)
Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (kumpulan sajak);
c)
Sajak Ladang Jagung (kumpulan sajak).
10.
Arsendo Atmowiloto
a)
Lawan Jadi Kawan (cerita anak);
b)
Bayang-bayang Baur (novel);
c)
Teu Cireus (novel);
d)
Surat dengan Sampul Putih (kumpulan cerpen);
e)
Saat Kau Berbaring di dadaku (novel);
f)
2 x cinta.
11.
Y.B Mangunwijaya
a)
Teknologi dan Dampak Kebudayaannya (essai);
b)
Sastra dan Religiusitas (kumpulan essai);
c)
Roro Mendut (roman);
d)
Puntung Roro Mendut (roman);
e)
Ragawirdya (novel);
f)
Fisika Bangunan (buku teks);
g)
Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (novel).
12.
Abdul Hadi WM
a)
Laut Belum Pasang (kumpulan sajak);
b)
Cermin (kumpulan sajak);
c)
Potret Seorang Pengunjung Pantai Sanur (kumpulan sajak);
d)
Meditasi (kumpulan sajak);
e)
Tergantung pada Angin (kumpulan sajak);
f) Manusia
dalam Sastra Indonesia Muttakhir (kumpulan essai);
g)
Zaman Edan dan Sastra Frustasi (kumpulan essai).
13.
Emha Ainun Najib
a)
Frustasi (kumpulan sajak);
b)
Sajak-sajak Sepanjang Jalan (kumpulan sajak);
c)
Mabang;
d)
Tangis;
e)
Lingkaran Dinding;
f) Kepala
Kampung;
g)
Seorang Gelandangan;
h)
Mimpi Setiap Orang;
i)
Mimpi Istriku;
j) 99
untuk Tuhanku (sajak);
k)
Di Belakangku.
14.
Korrie Layun Rampan
a)
Matahari pinsan di ubun-ubun (kumpulan sajak);
b)
Cermin Sang Waktu (kumpulan sajak bersama Gunoto Saparie);
c)
Saan (kumpulan sajak);
d)
Malam Putih (kumpulan sajak);
e)
Upacara (novel);
f) Kekasih
(kumpulan cerpen);
g)
Suara Kesunyian (kumpulan sajak).
15.
Umar Kayam
a)
Seribu Kunang-kunang di Matahari (kumpulan cerpen);
b)
Sri Sumarah dan Bawuk (kumpulan cerpen);
c)
Totok dan Toni (cerita anak-anak);
d)
Seni, Tradisi, Masyarakat (kumpulan essai);
e)
Para Priyayi (novel);
16.
Remy Sylado
a)
Gali Lobang Gila Lobang (roman);
b)
Kita Hidup Hanya Sekali (roman);
c)
Belajar Menghargai Hak asasi Kawan (sajak).
17.
WS. Rendra
a)
SLA (drama terjemahan);
b)
Informan ( drama terjemahan);
c)
Blues untuk Bonnie (kumpulan sajak);
d)
Sajak-sajak Sepatu Tua (kumpulan sajak);
e)
Oidipus Sang Budha (drama terjemahan);
f) Antigone
(drama);
g)
Potret Pembangunan dalam Puisi (kumpulan sajak).